Tradisi larung sesaji merupakan salah satu warisan budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat Ponorogo, khususnya di Telaga Ngebel. Tradisi ini tidak hanya sekadar seremonial, tetapi juga merupakan bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rezeki dan perlindungan yang diberikan. Di samping itu, tradisi ini juga sarat dengan nilai-nilai spiritual dan sosial yang mendalam, mengandung makna simbolis yang kaya dan berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat setempat. Dalam tulisan ini, kita akan membahas lebih dalam mengenai makna, prosesi, dan perspektif Islam terhadap tradisi larung sesaji, serta bagaimana tradisi ini tetap relevan dan dihormati di tengah perkembangan zaman.

Makna dan Prosesi Larung Sesaji Buceng Agung di Telaga Ngebel

Telaga Ngebel yang terletak di Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur, dikenal sebagai tempat yang sakral dan penuh mistis oleh masyarakat setempat. Setiap tahun, di telaga ini sering terjadi kecelakaan yang menelan korban jiwa, sehingga masyarakat setempat mengadakan upacara larung sesaji sebagai bentuk permohonan keselamatan dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tradisi larung sesaji ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu larungan malam dan larungan pagi. Larungan malam dilakukan pada tengah malam dengan melarung sesaji berupa buceng beras merah ke tengah telaga. Kegiatan ini didukung oleh beberapa ritual seperti tirakatan Purwo Ayu Mardi Utomo, pentas wayang, tanam syarat, dan selamatan. Sedangkan larungan pagi dilaksanakan pada pagi hari dengan melarung buceng agung ke tengah telaga setelah melalui beberapa rangkaian kegiatan seperti pembukaan, serah terima sesaji, kirab, dan akhirnya larungan buceng agung sebagai puncak perayaan tahun baru Islam atau Sura.

Bulan Sura diyakini sebagai bulan sakral oleh masyarakat Ponorogo, sehingga upacara larungan ini dilakukan pada malam tanggal satu Sura hingga tanggal satu Sura. Beragam sesaji yang digunakan dalam upacara ini memiliki makna simbolik tersendiri, seperti buceng agung yang menjadi simbol utama dalam prosesi larungan ini. Dengan melarung buceng agung ke Telaga Ngebel, tradisi ini tidak hanya memiliki aspek spiritual tetapi juga menjadi daya tarik wisata yang mampu menarik wisatawan dari dalam maupun luar negeri.

Tradisi Larung Sesaji dalam Perspektif Islam

Dalam pandangan Islam, hukum melakukan tradisi sedekah laut atau larung sesaji bergantung pada niat yang mendasari pelaksanaannya. Tradisi ini dapat dianggap sebagai sedekah yang memiliki manfaat besar, salah satunya adalah menyelamatkan manusia dari musibah atau marabahaya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW, sedekah dapat menolak bala dan memperpanjang umur. Namun, jika tradisi ini dilakukan dengan niat meminta perlindungan kepada selain Allah, maka hal tersebut jelas diharamkan.

Ayat dalam Al-Qur’an, QS. Yunus/10: 106 menyebutkan:

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَۚ فَاِنْ فَعَلْتَ فَاِنَّكَ اِذًا مِّنَ الظّٰلِمِيْنَ

Artinya: “Dan janganlah kamu memohon (beribadah) kepada selain Allah akan apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat sebab jika kamu berbuat demikian maka sesungguhnya kamu termasuk orang yang dholim.”

Oleh karena itu, tradisi larung sesaji harus dilaksanakan dengan niat yang benar, yaitu sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT dan bukan kepada kekuatan lain yang diyakini. Dengan niat yang benar, tradisi ini dapat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh keberkahan dalam kehidupan dan juga merupakan salah satu bentuk menghargai tradisi sebagaimana salah satu nilai dasar moderasi beragama.

Nilai dan Relevansi Tradisi Larung Sesaji

Tradisi larung sesaji buceng agung di Telaga Ngebel tidak hanya sekadar seremonial, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya yang mendalam. Tradisi ini mengajarkan pentingnya rasa syukur kepada Tuhan atas segala rezeki dan perlindungan yang diberikan. Selain itu, tradisi ini juga menjadi media untuk mempererat hubungan sosial antar anggota masyarakat, memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas di antara mereka.

Di era modern ini, tradisi larung sesaji tetap relevan dan dihormati oleh masyarakat Ponorogo. Meskipun sudah banyak perubahan dan perkembangan dalam masyarakat, tradisi ini tetap dipertahankan sebagai warisan budaya yang kaya akan makna. Selain itu, dengan adanya dukungan dari pemerintah daerah dan masyarakat, tradisi ini juga mampu menarik perhatian wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri, yang ingin menyaksikan dan merasakan langsung keunikan tradisi ini.

Tradisi larung sesaji di Telaga Ngebel merupakan salah satu warisan budaya yang sangat berharga dan perlu dilestarikan. Tradisi ini tidak hanya mengandung nilai-nilai spiritual yang mendalam, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan dan rasa syukur masyarakat Ponorogo kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam perspektif Islam, tradisi ini sah-sah saja dilakukan asalkan dengan niat yang benar, yaitu sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. Dengan demikian, tradisi larung sesaji tetap relevan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Ponorogo, sekaligus menjadi daya tarik wisata yang mampu meningkatkan perekonomian daerah.

Shares:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *