Menjelang datangnya bulan suci Ramadan 1446 H, perbincangan mengenai metode penentuan awal Ramadan kembali menjadi isu dan perbicangan di sekitar kita. Di Indonesia, Kementerian Agama (Kemenag) akan menggelar Sidang Isbat Awal Ramadan pada 28 Februari 2025 untuk menetapkan kapan umat Islam memulai puasa​. 

Sidang Isbat ini rutin dilakukan tiap tahun, mempertemukan ahli falak (astronomi), ulama, dan otoritas terkait, yang memadukan data hisab (perhitungan astronomis) dan hasil rukyatul hilal (pengamatan bulan sabit) sebelum memutuskan awal Ramadan​. Tema ini sangat penting dalam Islam karena penentuan awal bulan Qamariyah (bulan Hijriah) berdampak langsung pada pelaksanaan ibadah seperti puasa Ramadan dan Idul Fitri. Perbedaan metode hisab vs rukyat kerap menjadi sumber perbedaan di tengah umat, termasuk di Indonesia di mana ormas seperti Muhammadiyah cenderung menggunakan hisab, sementara organisasi lain mengutamakan rukyat.

Buku The Astronomical Calculations and Ramadan karya Zulfiqar Ali Shah tampaknya sangat cocok untuk kita ulas pada momen ini. Sebagai buku dalam rumpun studi fiqih, ia mengulas apakah penentuan awal Ramadan harus dengan rukyat mata telanjang sesuai tradisi, atau boleh menggunakan perhitungan astronomi modern (hisab) yang lebih akurat. 

Sehubungan dengan itu Sidang Isbat 1446 H akan memadukan kedua pendekatan tersebut. Ulasan ini akan membedah isi buku, argumen-argumen yang dikemukakan, serta menganalisis kelebihan dan kritik terhadap pendekatan Shah, khususnya dikaitkan dengan konteks keumatan di Indonesia.

Kita perlu kepastian, Gagasan Zulfiqar Ali Shah

penentuan awal ramadan
penentuan awal ramadan

Sebagai pengantar, Shah menegaskan bahwa inti masalah penentuan awal Ramadan terletak pada pencapaian kepastian (certainty) tentang masuknya bulan, bukan pada metode melihatnya semata​. Dalam pandangan Shah, syariat Islam sebenarnya menghendaki kepastian waktu ibadah; rukyat hilal hanyalah salah satu cara untuk meraih kepastian tersebut​. 

Al-Qur’an tidak secara eksplisit mewajibkan melihat hilal secara fisik, melainkan menggunakan ungkapan “barangsiapa menyaksikan (syahida) bulan Ramadan, hendaknya ia berpuasa”. Para ulama tafsir sepakat bahwa frasa tersebut bermakna siapa pun yang hadir (mukim) dan mengetahui tibanya Ramadan (melalui apa pun caranya) wajib berpuasa​. Dengan kata lain, Al-Qur’an memerintahkan umat untuk memastikan hadirnya bulan Ramadan, tanpa membatasi caranya pada rukyat semata. 

Hadis Nabi yang masyhur pun – “Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya; jika terhalang mendung maka genapkan Sya’ban 30 hari” – oleh Shah dipahami tujuannya adalah memastikan kepastian masuk bulan dengan cara yang dapat dipahami komunitas saat itu​. Hisab astronomi di era Nabi belum umum di kalangan Arab yang ummi (minim pengetahuan hitung-menghitung), sehingga Nabi menekankan rukyat sebagai cara termudah mencapai kepastian bagi mereka​. 

Shah mengutip pemikiran Rasyid Rida yang menyebutkan bahwa syariat menggunakan rukyat sebagai alat untuk menentukan waktu ibadah, bukan menjadikan aktivitas melihat itu sendiri sebagai tujuan ibadah​. Oleh karena itu, jika sarana untuk mencapai kepastian sudah berkembang (misalnya melalui ilmu astronomi modern), maka menurut Shah sarana tersebut tetap sejalan dengan semangat syariat.

Argumentasi Zulfiqar Ali Shah adalah bahwa penggunaan hisab falak yang canggih dibenarkan dan bahkan sesuai dengan maqasid (tujuan) syariat. Ia membantah anggapan bahwa syariat mengharuskan rukyat fisik secara mutlak. Dalam analisisnya, hadis-hadis Nabi yang sekilas tampak mewajibkan rukyat sebenarnya menekankan pentingnya yakin akan masuknya bulan baru​. 

Nabi Muhammad ﷺ, menurut Shah, tidak melarang perhitungan astronomi; larangan beliau justru tertuju pada praktek astrologi jahiliyah yang sarat ramalan spekulatif. Al-Qur’an sendiri menyebut fungsi bulan dan matahari untuk perhitungan waktu (QS Yunus:5, QS Al-Baqarah:189), yang memberi dasar bahwa mengetahui fase bulan secara ilmiah adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah dalam penentuan waktu. Shah menunjukkan bahwa istilah hilal dalam bahasa Arab bermakna “teriakan atau pengumuman” – secara budaya hilal adalah ketika bulan baru diumumkan terlihat​. Ini mengisyaratkan aspek informatif/publikasi awal bulan, bukan sekadar aktivitas melihatnya.

Buku ini juga mengupas berbagai dalil Al-Qur’an dan Hadis yang kerap dijadikan sandaran kedua kubu (pro-rukyat vs pro-hisab). Misalnya, Shah membahas makna kata ru’yah (melihat) dalam hadis. Secara kebahasaan, ru’ya tidak selalu berarti melihat dengan mata; banyak konteks Al-Qur’an menggunakan kata “melihat” untuk makna “mengetahui atau memperhatikan”​. Contohnya, kalimat “Apakah kamu tidak melihat bagaimana Tuhanmu berbuat…?” tentu bukan menuntut melihat dengan mata kepala, melainkan mengetahui dengan yakin. Maka, menurut Shah, perintah “melihat hilal” bisa ditafsirkan sebagai “memastikan hilal” – sesuatu yang di zaman modern dapat dicapai melalui hisab. 

Di sisi lain, ia juga menelaah dalil-dalil yang sering dikutip kalangan yang berargumen bahwa rukyat saja yang diperbolehkan, seperti hadis “kami adalah umat yang ummi, tidak pandai tulis-hitungan”. Shah berpendapat hadis ini bersifat deskriptif tentang kondisi masyarakat saat itu, bukan suatu ideal yang harus dipertahankan​. Tujuan diutusnya Nabi justru untuk mengentaskan umat dari kejumudan ilmu, sehingga kemajuan ilmu astronomi semestinya dilihat sebagai rahmat yang mempermudah pelaksanaan syariat, bukan ancaman.

Selain dalil naqli, Zulfiqar Ali Shah mengkaji pandangan ulama klasik dan kontemporer terkait penggunaan hisab. Secara historis, mayoritas ulama di masa lalu memang menolak penetapan kalender ibadah dengan hisab, tetapi Shah menemukan tidak ada konsensus (ijma’) yang mengharamkannya secara mutlak​. Perdebatan hisab vs rukyat sudah ada sejak masa tabi’in; kebanyakan ulama klasik menolak hisab karena beberapa alasan kontekstual, namun ada minoritas ulama terpandang yang pernah mempertimbangkan hisab. 

Shah mengutip contoh tokoh seperti Mutarrif bin Abdullah, Imam Ibn Surayj (ulama madzhab Syafi’i), Ibnu Qutaybah, hingga Imam Taqiyuddin as-Subki yang diketahui menggunakan hasil hisab astronomi untuk menguji kebenaran laporan rukyat, khususnya saat hilal tertutup mendung​. Walaupun para ulama ini mendapat kritikan keras pada masanya, fakta keberadaan pendapat mereka menunjukkan bahwa pintu ijtihad dalam penggunaan hisab sebenarnya sudah pernah terbuka di kalangan salaf. 

Adapun mayoritas ulama klasik menolak hisab waktu itu karena akurasi astronomi yang belum memadai dan kekhawatiran tercampurnya dengan praktik astrologi. Perhitungan astronomi di era pertengahan sering dikaitkan dengan tukang nujum dan dianggap tidak terpercaya, sehingga wajar bila ulama bersikap skeptis. Namun kini astronomi modern telah sangat akurat dan terbebas dari klenik, sehingga alasan penolakan klasik tersebut tidak lagi relevan​. Shah menegaskan bahwa ilmu hisab falak modern berbeda dari ramalan bintang kuno; fiqih Islam menolak sihir/astrologi, bukan ilmu astronomi yang rasional​. Dengan kemajuan sains, posisi hilal dapat dihitung dengan kepastian tinggi, bahkan lebih akurat daripada kesaksian mata manusia yang rawan keliru. Karena itu, menurut penulis, menggunakan hisab astronomi justru “paling mendekati tujuan syariat dan semangat hadis” Nabi dalam memastikan waktu ibadah​

Sebagai tambahan, buku ini juga membahas mengenai isu penyatuan kalender Islam. Shah mengakui bahwa perbedaan awal Ramadan dan Idul Fitri telah menjadi “masalah internasional yang lama dinanti solusinya”​. Ia memberikan analisis objektif atas berbagai opini fiqih kontemporer, termasuk keputusan lembaga seperti Fiqh Council of North America dan European Council for Fatwa and Research yang cenderung menerima hisab. Intinya, gagasan utama buku ini ialah membuktikan bahwa penggunaan hisab tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, serta menawarkan jalan untuk menyatukan umat dalam kalender Islam global. Hal ini dibuktikan dengan dalil, kajian bahasa, pandangan ulama lintas zaman, serta data astronomis yang komprehensif.

The Astronomical Calculations and Ramadan, Apa Kelebihannya?

Mengulas buku setidaknya kita harus melihatnya dari dua aspek yakni kelebihan dan keterbatasan (bukan kelemahan) dari sebuah karya. Buku The Astronomical Calculations and Ramadan memiliki sejumlah kelebihan. Pertama, pendekatan Shah sangat komprehensif dan mendalam. Ia tidak hanya menyampaikan pendapat pribadinya, tetapi membahas tuntas dalil Al-Qur’an, hadis, tafsir bahasa, serta pandangan ulama klasik maupun modern. Pembaca disuguhi kutipan langsung teks Arab beserta terjemahannya, menunjukkan keseriusan riset dan memastikan tidak ada dalil relevan yang diabaikan​. Pendekatan ini membuat argumen Shah terasa akademis dan kredibel, namun tetap bisa diikuti oleh pembaca umum berkat penjelasan yang sistematis. 

Keunggulan lain adalah ketegasan logika Shah dalam lebih menekankan maqasid syariah. Dengan mengedepankan prinsip yakni (kepastian) sebagai tujuan, ia berhasil menyusun argumen bahwa metode apapun yang menghasilkan kepastian (termasuk hisab modern) sejalan dengan tujuan syariat. Argumen semacam ini relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga fiqih terasa hidup dan kontekstual.

Kedua, buku ini patut diapresiasi karena cukup berhasil mengoreksi asumsi historis yang menurut shah adalah keliru. Shah berhasil “mematahkan mitos” bahwa semua ulama menolak hisab dan bahwa rukyat adalah satu-satunya metode yang disepakati​. Dengan data sejarah, ia menunjukkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama terdahulu dan alasan di balik keengganan mereka menerima hisab (misalnya karena kekhawatiran terhadap astrologi atau ketidakakuratan di masa lalu). Paparan ini membuka wawasan pembaca bahwa persoalan kalender bukan hitam-putih, melainkan ruang ijtihad yang pernah dijelajahi ulama-ulama besar. Implikasi penting dari pemetaan sejarah ini adalah tumbuhnya sikap toleran terhadap perbedaan metode. Umat jadi memahami mengapa di era modern muncul seruan mempertimbangkan hisab, dan bahwa hal itu tidak serta-merta menyimpang dari tradisi Islam.

Ketiga, buku ini berkontribusi terhadap upaya persatuan umat. Beberapa ulama kontemporer memuji karya Shah sebagai kontribusi berharga untuk menyelesaikan polemik perbedaan penentuan awal Ramadan di tingkat global​. Penekanan bahwa hisab dan rukyat sebenarnya bisa saling melengkapi membuka jalan dialog antara kelompok yang berselisih. Shah menunjukkan bahwa dengan ilmu astronomi yang tepat, umat Islam dapat memiliki kalender yang pasti tanpa harus mengorbankan nilai-nilai syar’i. Bahkan, Prof. Ali al-Qurrah Daghi dari Dewan Fatwa Eropa menyebut buku ini kaya akan pemaparan dan “sarat prospek menyatukan umat, khususnya di Barat”​. 

Artinya, argumen Shah telah menawarkan solusi praktis untuk problem perbedaan tanggal yang kerap membingungkan masyarakat. Kekuatan argumen dan penelitian Shah juga diakui mampu mengubah pandangan sebagian ulama yang tadinya ragu terhadap hisab menjadi menerima keabsahannya​. Semua ini menunjukkan bahwa buku ini berdampak positif dalam diskursus fiqih modern.

The Astronomical Calculations and Ramadan, Apa Keterbatasannya?

Di balik kekuatannya, tentu ada beberapa kritik yang bisa dialamatkan terhadap pendekatan Shah, terutama dari perspektif ulama atau kalangan yang lebih konservatif. Pertama, kelompok yang literal/tekstual bisa berargumen bahwa Shah terlalu longgar dalam menafsirkan dalil tekstual. Mereka yang berpegang teguh pada makna literal hadis akan keberatan dengan upaya mengubah makna “ru’yah” menjadi “pengetahuan”. Bagi mereka, perintah Nabi “Berpuasalah karena melihat hilal…” sudah jelas bersifat harfiah dan berlaku umum, tanpa pengecualian​. 

Pendapat seperti yang dikemukakan oleh Maghraoui (dikutip Shah) menegaskan bahwa selama tidak ada hal yang benar-benar mustahil, kata ru’yah harus dimaknai sebagai melihat secara fisik​. Dari sudut pandang ini, pendekatan Shah dianggap berisiko mengaburkan sunnah Nabi yang sangat jelas. Kritik semacam ini berpandangan bahwa meskipun hisab itu akurat, mengamalkan rukyat memiliki nilai ketaatan tersendiri sebagai ibadah mengikuti tuntunan Nabi. Bagi mereka, ada dimensi spiritual dan kehati-hatian (wara’) dalam menunggu hilal yang tidak tergantikan oleh angka astronomis.

Kritik kedua, masih dari kaca mata tekstual, ialah kekhawatiran bahwa mengganti rukyat dengan hisab bisa mengikis warisan praktik umat Islam sepanjang sejarah. Rukyat hilal bukan sekadar metode teknis, tapi juga syiar kolektif yang menyatukan umat lokal dalam penantian dan pengamatan bulan sabit pertama. Jika semuanya diserahkan pada hisab, dikhawatirkan nuansa kebersamaan dan ukhuwah saat rukyatul hilal akan hilang. 

Selain itu, kelompok yang berpandangan seperti ini bisa menyatakan bahwa mayoritas ulama sepanjang masa telah sepakat pada dua metode (rukyat atau menggenapkan bulan menjadi 30 hari), sehingga meninggalkan ijma’ amali (kesepakatan praktik) tersebut bukan perkara ringan​. Argumen “hampir semua ulama klasik menolak hisab” masih dianggap otoritatif oleh kalangan ini, meskipun Shah menyanggah adanya ijma’ yang sahih. Mereka mungkin menganggap pendapat minoritas pro-hisab di masa lalu lemahatau syadz (ganjil)​, sehingga tidak bisa dijadikan dasar mengubah praktik yang mapan.

Selanjutnya, ada pula persoalan terkait otoritas ilmu dan aksesibilitas. Meski hisab modern sangat akurat, sebagian ulama khawatir penggunaannya secara masif bisa menimbulkan ketergantungan umat pada hitungan ahli falak yang rumit, yang tidak dipahami awam. Rukyat dinilai lebih membumi karena bisa dilakukan siapa saja dengan mata telanjang, sementara hisab membutuhkan pengetahuan astronomi. 

Dalam kerangka ini, sebagian konservatif barangkali berargumen bahwa syariat memilih metode paling simpel agar bisa dijalankan setiap muslim tanpa harus bergantung pada pakar. Hal lain, hisab pun tidak sepenuhnya bebas perbedaan: terdapat berbagai kriteria (contoh: perbedaan kriteria visibilitas hilal, posisi geografis mana yang dijadikan acuan, dll.). Tanpa keseragaman metode hisab, justru dapat muncul potensi perbedaan baru. Kritik terakhir, sebagaimana disinggung di buku Shah sendiri, adalah kekhawatiran “menyerupai cara Yahudi”. 

Kaum Yahudi kuno mengubah kalender lunar mereka menjadi terjadwal dengan penambahan bulan agar selaras kalender solar, yang oleh sebagian ulama disebut Nabi sebagai penyimpangan (nasî’)​. Kalangan yang skeptis mungkin menyamakan kalender hijriah hasil hisab terlebih dahulu (prakalender) sebagai langkah menuju penyeragaman yang tidak alami, meskipun Shah telah menjelaskan bahwa hisab modern tidak sama dengan interkalasi (menyisipkan bulan tambahan) dan tidak mengubah jumlah hari bulan hijriah, hanya menentukan dengan tepat kapan bulan itu dimulai​. Singkatnya, pendekatan tekstual intinya berpusat pada upaya menjaga literalitas teks dan kontinuitas tradisi, serta kehati-hatian agar inovasi tidak tersusup dalam ibadah.

Relevansi bagi Umat Islam di Indonesia

Ide-ide dalam buku ini sangat relevan dengan realitas umat Islam di Indonesia, yang setiap tahun dihadapkan pada potensi perbedaan penentuan awal Ramadan dan hari raya. Indonesia memiliki dua arus utama metode: hisab dan rukyat. Ormas Muhammadiyah, misalnya, sudah sejak lama konsisten menggunakan hisab wujudul hilal (kriteria minimal munculnya hilal di atas ufuk) dan mengumumkan tanggal penentuan awal Ramadan/Idul Fitri jauh-jauh hari berdasarkan perhitungan. Sementara Nahdlatul Ulama dan kebanyakan ormas lain mengutamakan rukyat, meskipun mereka juga tidak anti-hisab. 

Pemerintah melalui Kemenag mengambil posisi moderat dengan menggunakan hisab untuk menghitung posisi hilal, lalu mengkonfirmasinya dengan rukyat​. Hal ini tampak di Sidang Isbat yang selama ini dapat secara transparan kita lihat: data astronomi (hisab) dipaparkan lebih dahulu sebagai panduan, kemudian tim melakukan rukyat di berbagai lokasi. Pendekatan Indonesia ini sejatinya mirip dengan salah satu konsensus yang ditawarkan Shah – bahwa hisab dan rukyat dapat saling melengkapi demi tercapainya kepastian sekaligus memenuhi aspek tradisional.

Gagasan Shah yang menakankan akan pentingnya kepastian dan keakuratan tentu mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas penentuan awal bulan. Misalnya, beberapa tahun belakangan Indonesia dan negara Asia Tenggara menerapkan kriteria Imkanur Rukyat MABIMS yang lebih tinggi (hilal minimal 3° di atas ufuk) untuk menerima hasil rukyat. Penerapan kriteria ini sebenarnya bentuk penerimaan terhadap data hisab: jika secara hisab hilal belum mencapai tinggi minimal, pemerintah cenderung menolak laporan rukyat yang mengklaim melihat hilal karena dianggap tidak valid secara ilmiah. 

Langkah ini sejalan dengan ide Shah bahwa ilmu hisab harus dijadikan alat validasi demi kepastian. Contoh konkretnya, pada penentuan 1 Syawal 1443 H (2022), pemerintah Indonesia pertama kalinya berbeda dengan Muhammadiyah karena menurut hisab hilal belum memenuhi kriteria visibilitas, sehingga keputusan Sidang Isbat adalah istikmal (menggenapkan 30 hari). Kejadian tersebut memperlihatkan bahwa data astronomis semakin diakui otoritasnya oleh pemerintah, meski tetap mengakomodir rukyat.

Di sisi lain, pemikiran Shah dapat mendorong ormas-ormas dan ulama di Indonesia untuk berdialog mencari titik temu. Selama ini, perbedaan metode sering kali disikapi dengan “setuju untuk berbeda”, tetapi buku ini memberi landasan fiqih untuk sebenarnya menyatukan pandangan. 

Beberapa Pelajaran yang Dapat kita Ambil

Relevansi lainnya, buku ini mengedukasi masyarakat awam bahwa penggunaan hisab bukanlah hal terlarang dalam agama. Dengan pemahaman tersebut, diharapkan umat tidak lagi terperangkap dalam dikotomi “hisab vs rukyat” secara kaku, melainkan memahami hikmah di balik keduanya. Ujungnya, perbedaan awal puasa atau lebaran yang kadang terjadi bisa disikapi dengan kepala dingin dan saling menghormati, karena tahu landasan masing-masing metode.

Secara praktis, ide Shah juga mengingatkan bahwa umat Islam Indonesia tak boleh gagap teknologi. Mengamati hilal langsung itu sunnah yang baik, tetapi memanfaatkan data astronomi juga bagian dari ikhtiar ilmiah. Di era aplikasi ponsel dan informasi real-time, generasi muda cenderung percaya pada sains. Dengan menjelaskan bahwa syariat Islam selaras dengan sains (bukan anti-sains), dakwah dan edukasi Islam justru semakin kuat. Misalnya, ketika diberitakan hasil hisab bahwa hilal sudah wujud dan memenuhi kriteria pada tanggal tertentu, umat bisa mempersiapkan diri menyambut penentuan awal Ramadan dengan lebih tenang karena informasi yang konsisten. 

Sebagai penutup, tentu keputusan final tetap menunggu Sidang Isbat, namun publik sudah mendapat gambaran selaras antara hisab ormas dan hisab pemerintah. Ini modal bagus bagi persatuan, dan buku Shah semakin relevan untuk menguatkan keyakinan bahwa dengan ilmu falak modern, insyaAllah umat dapat lebih bersatu tanpa meninggalkan tuntunan agama.

Dengan kajian mendalam dan argumentasinya, Shah berhasil memberi landasan bagi umat dan ulama masa kini untuk mempertimbangkan kembali praktik rukyat tradisional dalam cahaya ilmu modern. Kontribusi buku ini terasa pada dua level: akademis dan praktis. Secara akademis, buku ini memperkaya khazanah fiqih dengan sintesis dalil naqli dan aqli yang brilian, mengusik kenyamanan status quo dan mendorong ijtihad yang berani namun tetap berakar pada sumber-sumber Islam. Secara praktis, buku ini menawarkan solusi konkrit terhadap problem perbedaan kalender Islam yang telah lama dirasakan umat.

Adapun implikasinya terhadap konteks Indonesia, pemikiran dalam buku ini selaras dengan upaya Pemerintah dan ormas besar untuk menemukan titik temu hisab-rukyat. Sidang Isbat yang melibatkan pakar astronomi dan penggunaan kriteria visibilitas hilal adalah bukti bahwa Indonesia bergerak ke arah yang Shah idealkan, meski belum sepenuhnya meninggalkan rukyat. 

Bisa dikatakan, buku ini memberi justifikasi teologis bagi langkah-langkah ilmiah yang sudah diambil Kemenag, sekaligus mendorong agar langkah tersebut dipercepat menuju standardisasi kalender Islam berbasis hisab yang valid dan universal. Tentunya, perubahan sosial-keagamaan membutuhkan waktu; tidak serta-merta setelah terbitnya buku ini lantas semua pihak sepakat. Namun, setidaknya The Astronomical Calculations and Ramadan telah membuka ruang dialog bermutu tinggi. 

Di Indonesia, apabila gagasan-gagasan Shah disosialisasikan, bukan tidak mungkin di masa mendatang perdebatan penentuan awal Ramadan akan berkurang, digantikan oleh pemahaman bersama bahwa ilmu falak modern adalah karunia Allah untuk kemaslahatan ibadah. Dengan demikian, buku ini layak dibaca para ulama, akademisi, dan pemerhati fiqih falak, dan pantas menjadi rujukan penting dalam upaya menyatukan penanggalan Islam. Semoga ikhtiar ilmu seperti ini dapat menjadi wasilah tercapainya tujuan syariat: kemudahan, kepastian, dan persatuan umat​.

Shares:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *