Sampai detik ini, hukum mengucap salam kepada non-Muslim sering menjadi topik yang diperdebatkan di kalangan Muslim. Terutama, setelah munculnya fatwa MUI tentang haramnya mengucap salam kepada non-Muslim, diskusi ini semakin intensif. Artikel ini meninjau berbagai pandangan ulama dan dalil terkait.
Dalam konteks interaksi sosial antara Muslim dan non-Muslim, salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah persoalan hukum mengucap salam kepada non-Muslim. Artikel ini akan meninjau berbagai pandangan ulama, dalil, dan fatwa yang terkait dengan hukum ini berdasarkan literatur yang ada.
Pendekatan Revelatory-Deontological
Pendekatan ini menekankan bahwa hukum Islam harus didasarkan pada teks wahyu, baik Al-Qur’an maupun Hadis. Dalam Al-Qur’an, ayat yang sering dikutip terkait interaksi dengan non-Muslim adalah:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8).
Ayat ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada non-Muslim yang tidak memerangi umat Islam adalah diperbolehkan. Namun, beberapa ulama menafsirkan bahwa mengucap salam, yang merupakan doa keselamatan, tidak termasuk dalam tindakan ini.
Hadis yang sering dijadikan rujukan adalah:
“Janganlah kalian memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani, dan apabila kalian bertemu dengan mereka di jalan, maka desaklah mereka ke bagian yang sempit dari jalan tersebut.” (HR. Muslim).
Hadis ini sering diinterpretasikan sebagai larangan untuk memulai salam kepada non-Muslim, karena salam adalah doa keselamatan yang khusus diberikan kepada sesama Muslim.
Pendapat Ulama Tradisional
Mayoritas ulama klasik, seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, melarang pengucapan salam kepada non-Muslim berdasarkan beberapa hadis Nabi Muhammad SAW. Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Jawab as-Sahih menjelaskan bahwa pengucapan salam kepada non-Muslim tidak dibolehkan karena salam adalah bentuk penghormatan dan doa keselamatan yang eksklusif bagi Muslim (Ibn Taimiyah, 1999).
Ibnu Qayyim dalam Ahkam Ahl al-Dhimmah juga menyatakan bahwa:
“Tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk memulai salam kepada orang Yahudi atau Nasrani. Jika mereka memberi salam kepada kita, maka kita hanya menjawab dengan ‘wa ‘alaikum’.” (Ibn Qayyim, 1997).
Pendekatan Konsekuensialis-Utilitarian
Pendekatan ini mempertimbangkan manfaat dan mudarat dalam setiap tindakan. Dalam konteks mengucap salam kepada non-Muslim, beberapa ulama modern melihat manfaat yang lebih besar dalam membangun hubungan yang harmonis dan damai dengan non-Muslim. Yusuf al-Qaradawi, misalnya, dalam salah satu fatwanya menyatakan bahwa jika mengucapkan salam dapat membantu memperbaiki hubungan dan menghilangkan prasangka buruk, maka hal itu bisa diperbolehkan dalam konteks tertentu (Al-Qaradawi, 1977).
Al-Qaradawi menjelaskan bahwa:
“Jika memberi salam kepada non-Muslim dalam konteks yang bisa membawa manfaat yang lebih besar, seperti menjaga hubungan baik dan menghindari permusuhan, maka hal ini diperbolehkan.” (Al-Qaradawi, 2001).
Pendekatan Comprehensive-Qualitative
Pendekatan ini lebih luas dan tidak hanya berfokus pada hukum apakah sesuatu diperbolehkan atau tidak, tetapi juga pada nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa mengucap salam kepada non-Muslim bisa menjadi bagian dari dakwah dan menunjukkan sikap rahmatan lil ‘alamin, yaitu membawa rahmat bagi seluruh alam (March, 2009).
Andrew F. March dalam artikel ilmiahnya menjelaskan bahwa pendekatan ini melibatkan pandangan yang lebih komprehensif tentang hubungan moral dan solidaritas dengan non-Muslim, yang melampaui sekadar pertanyaan hukum apakah sesuatu diperbolehkan atau tidak (March, 2009).
Pendapat Ulama Lain
Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menyebutkan bahwa:
“Mengucap salam adalah doa keselamatan. Jika non-Muslim yang tidak memerangi Islam atau Muslim memulai salam, maka kita harus membalasnya dengan yang baik, tetapi tidak disarankan untuk memulai salam kepada mereka.” (Al-Ghazali, 2004).
Selain itu, Syaikh Wahbah al-Zuhayli dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh berpendapat bahwa:
“Tidak mengapa menjawab salam yang diberikan oleh non-Muslim dengan ucapan yang sama atau lebih baik, selama itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.” (Al-Zuhayli, 1997).
Dalam kajian hukum mengucap salam kepada non-Muslim, terdapat berbagai pandangan dari ulama klasik hingga kontemporer. Mayoritas ulama klasik cenderung melarang dengan alasan menjaga keistimewaan salam sebagai doa keselamatan bagi sesama Muslim. Namun, ulama kontemporer lebih fleksibel dan mempertimbangkan konteks sosial serta manfaat yang bisa diperoleh dari interaksi yang baik dengan non-Muslim.
Sebagai seorang Muslim yang hidup di masyarakat plural, penting untuk memahami berbagai perspektif ini dan mempertimbangkan konteks dan niat dalam setiap tindakan. Dengan demikian, kita bisa menjalani kehidupan yang harmonis dan penuh toleransi, sesuai dengan nilai-nilai Islam yang sebenarnya.