Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar kata “wayang”? kesenian tradisional, dalang, budaya Jawa, atau bahkan legenda Mahabharata? Beberapa kelompok menganggap wayang bertentangan dengan ajaran Islam, walau sebagian besar masyarakat menganggap wayang sebagai warisan budaya bangsa yang tak ternilai harganya.
Khayāl al-Zill dan Karagöz: Seni Pertunjukan di Timur Tengah
Namun tahukah Anda, di Timur Tengah yang merupakan tempat lahir agama Islam, ternyata ada beberapa kesenian semacam wayang yang telah ada sejak dahulu kala. Kesenian yang saya maksud disini adalah Khayāl al-Zill di Mesir dan Karagöz di Turki. Beberapa penemuan artefak kuno di Mesir membuktikan bahwa sejak zaman Fir’aun, telah lahir cikal bakal kesenian semacam wayang (dalam Bahasa Inggris kita menyebutnya “shadow puppetry”), dimana objek berbentuk boneka sering disertakan dalam beberapa upacara keagamaan.
Dengan masuknya Islam ke Mesir pada akhir abad ketujuh Masehi, segala macam kesenian berbentuk gambar, patung, dan boneka awalnya dibatasi. Namun, dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, tuntunan untuk “merangkul” keragaman budaya dengan segala kearifan lokalnya merupakan suatu keniscayaan.
Ibn Daniyal: Pelopor Khayāl al-Zill dan Trilogi Pewayangan Arab Terkenal
Adalah Ibn Daniyal (1248–1311), seniman Mesir kelahiran Iraq yang mempelopori seni pertunjukan bertajuk Khayāl al-Zill (خيال الظل) yang secara harfiah berarti “imajinasi bayangan”. Beliau-lah yang pertama kali mengenalkan teknik penceritaan dengan media boneka yang terbuat dari kulit unta. Boneka tersebut diletakkan di depan sumber cahaya untuk menghasilkan proyeksi bayangan ke layar penonton.
Dengan tema cerita yang cenderung alegoris, fantastis dan imajinatif, teknik pertunjukan Khayal al-Zil mirip sekali dengan wayang di tanah air. Ibn Daniyal setidaknya telah melahirkan trilogi cerita “pewayangan Arab” terkenal yaitu: طيف الخيال (Shadow Spirit), عجيب وغريب (The Wonder and the Stranger), and المتيم والضائع اليتيم (The Love-Stricken and the Lost Orphan).
Resepsi Masyarakat Mesir terhadap Khayāl al-Zill: Kesenian yang Digandrungi di Bulan Ramadhan
Lalu bagaimana tanggapan masyarakat Mesir saat itu? Alih-alih menuai kecaman, Khayāl al-Zill berhasil menjadi salah satu bentuk kesenian paling digandrungi masyarakat Mesir pada zamannya. Beberapa manuskrip menunjukkan bahwa kesenian tersebut justru sering dimainkan saat bulan Ramadan. Seusai shalat tarawih, para warga seantero Kairo, tua-muda, rakyat jelata hingga bahkan beberapa tokoh agama ikut berkumpul menyaksikan pertunjukan tersebut.
Tak jarang, sang Rais al-Khayāl (di Jawa kita menyebutnya dalang) selalu mengajak para hadirin untuk doa bersama sebelum lakon dimulai, ia juga sering menyusupkan nilai-nilai dakwah dalam tiap episodenya. Bahkan, Sultan Ẓāhir Ruknuddin Baybars (1223–1277), penguasa Mesir dari Dinasti Mamluk saat itu tak pernah melarang kesenian Khayal al-Zil, walaupun ceritanya terkadang “menyindir” penguasa.
Karagöz dan Hacivat: Kesenian yang Bersemi di Turki
Beralih ke kawasan Timur Tengah lainnya, kesenian sejenis wayang juga bersemi dengan subur di Turki. Karagöz dan Hacivat, itulah namanya. Kesenian ini mulai populer di awal periode kekhalifahan Turki Usmani pada abad ke-16. Menggunakan media dari kulit dan teknik yang hampir sama dengan Khayāl al-Zill, kisah Karagöz dan Hacivat menceritakan tentang dua orang sahabat yang berbeda watak dan latar belakang. Karagoz digambarkan sebagai sosok rakyat jelata yang konyol, blak-blakan, impulsif namun cerdas dan banyak akal. Kira-kira semacam Abu Nawas atau Cak Lontong kalau di Indonesia.
Sedangkan Hacivat digambarkan sebagai seorang pria keturunan priyayi yang pandai dan berpendidikan tinggi namun “garing” dan kurang merakyat. Interaksi antaraa mereka berdua melahirkan banyak fragmen yang menarik mulai dari komedi, percintaan hingga kritik sosial yang pastinya “relate” dengan kehidupan sehari-hari. Seiring dengan ekspansi wilayah kekuasaan kekhalifahan Turki Usmani, kesenian Karagoz pun menyebar ke banyak daerah seperti Yunani, Bosnia dan Albania. Bahkan di Mesir sendiri kesenian Karagoz mulai populer dengan sebutan أراجوز (Arajuz).
Koneksi Wayang Timur Tengah dengan Wayang Indonesia: Pengaruh Pedagang Arab dan Teori Perkembangan
Pertanyaan yang sekarang muncul adalah: Apakah ada kesamaan antara kesenian wayang di Timur Tengah dengan wayang di Indonesia? Tentu saja ada. Beberapa teori menyatakan bahwa kesenian shadow puppetry (istilah bahasa Inggris untuk wayang) di Timur Tengah awalnya diperkenalkan oleh para pedagang Arab yang malang melintang ke timur jauh (Cina) dan India sekitar abad ke-12. Bahkan menurut Schneider (2001), ada kemungkinan kesenian Karagoz di Turki diilhami oleh wayang kulit di Jawa, walaupun belum ada bukti valid yang memperkuat. Itulah sebabnya terdapat banyak kesamaan dari segi teknis pertunjukan dan media yang digunakan.
Dari segi resepsi otoritas keagamaan, Schneider juga menceritakan bahwa para ulama besar di masa kehalifahan Turki Usmani tidak keberatan dengan adanya pertunjukan ini. Bahkan Mufti Agung kekhalifahan Turki Usmani, Muhammad Ebussuud Effendi al-İmâdi (1490–1574) sampai menyempatkan diri untuk mengeluarkan fatwa tentang “kehalalan” pertunjukan Karagoz.
Toleransi dan Kehalalan Wayang dalam Perspektif Otoritas Keagamaan
Jika dilihat dari tampilannya, Khayāl al-Zill, Karagöz dan Wayang Kulit sama-sama mengalami modifikasi dari figur manusia utuh menjadi figur “manusia tak utuh” dengan bentuk fisik yang unik dan tidak wajar. Khayāl al-Zill telah berevolusi dari boneka persembahan di zaman Fir’aun yang menyerupai “makhluk ciptaan Allah” menjadi boneka gepeng berbentuk lucu yang dijamin tidak mengarah ke syirik. Apa yang dialami Khayāl al-Zill dan Karagöz hampir sama dengan nasib Wayang Kulit di Jawa yang telah mengalami modifikasi sedemikian rupa oleh para wali untuk mengakomodir tuntutan agama dan budaya.
Dari pemaparan singkat saya di atas, izinkan saya menyimpulkan bahwa adanya kesenian semacam wayang di Timur Tengah telah menjadi bukti bahwa di kawasan yang dianggap “paling Islami” pun, agama dan budaya tidak harus selalu dipertentangkan. Kesenian seperti wayang dan semacamnya tak hanya berhasil menjadi media hiburan dan berekspresi namun juga media dakwah yang ampuh merangkul keragaman budaya lokal. Wallahu a’lam.
*Penulis adalah pengajar di jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN SATU Tulungagung, sedang menempuh S3 Kajian Timur Tengah di UIN SUKA Yogyakarta.
Add comment