Ketika platform media sosial memasuki kehidupan masyarakat Asia dan Indonesia hampir dua dekade lalu, fenomena ini menawarkan harapan koneksi yang lebih mendalam. Namun, ekspektasi ini belum sepenuhnya terpenuhi. Alih-alih memperkaya pandangan kita tentang dunia, platform media dan digital justru menciptakan gelembung sosial yang memperkuat keyakinan kita dan menjauhkan kita dari mereka yang berbeda pendapat. Pandemi COVID-19 semakin mengukuhkan fenomena ini. Dengan beragam sumber informasi, ketidakpastian informasi sering membuat kita berpegang teguh pada keyakinan kita, memperdalam polarisasi dan meningkatkan kesenjangan pemahaman.
Di era demokrasi, hal ini bisa menjadi ancaman. Akses ke berbagai pandangan memperkaya perspektif kita. Namun, bagaimana jika kita terisolasi dan tidak berinteraksi dengan mereka yang berbeda pandangan? Sebagai respons terhadap berbagai krisis global, termasuk dampak COVID-19 yang menghantam beberapa kelompok dengan lebih parah, ada kebutuhan mendesak untuk menemukan kesamaan dan memahami keadaan yang berbeda di masyarakat kita.
Platform teknologi, yang pada dasarnya dibangun untuk konektivitas, memiliki peran strategis. Dengan memperluas horizon dan mengembangkan apa yang kita lihat dan baca secara online, platform digital dapat memfasilitasi pemahaman yang lebih dalam tentang sesama kita, berdasarkan kesamaan dan nilai-nilai yang kita pegang bersama.
Keanekaragaman adalah kenyataan; pluralisme adalah pilihan sadar.
Sebagai contoh, Indonesia, sebagai negara dengan moto “Bhinneka Tunggal Ika” atau “Beragam namun Tetap Satu”, telah menunjukkan bahwa pertukaran budaya dan ide menciptakan kemakmuran dan ketahanan. Pada masa kerajaan-kerajaan nusantara, kekayaan dan kebijaksanaan dicapai melalui interaksi dan pertukaran antar kerajaan. Di Indonesia modern, keanekaragaman budaya, agama, dan etnis menjadi kekuatan dan kekayaan intelektual yang memajukan ekonomi dan sosial bangsa. Para pemimpin teknologi harus mengakui dan merayakan keanekaragaman ini, serta memperkuat nilai dari keragaman ide dan pandangan.
Menghargai keanekaragaman dan menghormati perbedaan tidak berarti harus selalu setuju. Membentuk masyarakat yang harmonis adalah tantangan. Kita mungkin menghargai keanekaragaman dalam kuliner dan seni, namun sering kali kurang nyaman dengan perbedaan dalam cara kita beribadah atau menyatakan pandangan politik. Fondasi masyarakat demokratis adalah kemampuan untuk mendengar dan berdiskusi dengan hormat, mempertahankan kerukunan sosial. Ini berkaitan dengan menciptakan rasa kebersamaan yang mengatasi perbedaan.
Sebagai contoh, tokoh pemikir Indonesia, B.J. Habibie, pernah mengatakan tentang pentingnya keanekaragaman sebagai kekuatan bangsa. Keanekaragaman adalah fakta yang tak terbantahkan di dunia yang saling terhubung, sementara pluralisme adalah pilihan sadar. Pluralisme mengajak kita untuk melihat perbedaan sebagai kekuatan. Memupuk masyarakat yang pluralis adalah tugas yang tak pernah selesai. Tanpa itu, kita mungkin berisiko kembali ke masyarakat yang penuh dengan perpecahan dan ketidakpercayaan. Di era saat ini, saat kita pulih dari dampak COVID-19 dan berbagai isu sosial-politik, kita diingatkan betapa saling terkaitnya kita semua. Kesejahteraan seseorang adalah kesejahteraan kita semua.
Algoritma untuk Solidaritas, Empati, dan Perdamaian
Perusahaan teknologi dapat mendukung pluralisme di masyarakat dengan menciptakan komunikasi online sebagai pendorong kohezi sosial, empati, dan kemakmuran bersama. Bagaimana kita memastikan bahwa ruang virtual yang kita ciptakan dan kurasi mendorong pluralitas pandangan untuk didengar dan dihormati melintasi garis pemisah ras, kelas, gender, dan agama? Bagaimana kita memastikan bahwa data yang memasok kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin tidak berasal dari sumber yang bias dan diperbesar oleh algoritma?
Pandangan ekstrem menyebar dengan kecepatan kilat dan kesalahan informasi menjadi risiko yang semakin meningkat bagi perdamaian dan stabilitas. Sebuah studi terbaru di Universitas Stanford yang diterbitkan oleh Akademi Ilmu Nasional menekankan bagaimana bias rasial mempengaruhi keputusan keuangan investor. Lebih dari itu, ada risiko nyata bahwa konvergensi algoritma dan penyempitan pandangan di puncak kekuasaan akan meningkatkan bias manusia dan kesalahan informasi.
Meskipun ada banyak diskusi tentang kebutuhan untuk inklusi dan akses yang lebih adil ke teknologi dan data, ini sebagian besar tentang perangkat keras, konektivitas, privasi data, dan literasi digital. Ada sedikit perhatian pada inklusi perspektif yang berbeda secara online, dengan mencari suara yang terpinggirkan dan menciptakan ruang untuk dialog yang santun. Mengapa kita tidak bisa menciptakan algoritma yang mendorong inklusi, yang memisahkan pencarian baru dari riwayat pencarian kita, dan yang menampilkan konten yang berbeda dari apa yang kita konsumsi secara rutin? Jika kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin dapat membantu kita menyaring pencarian, tentu mereka dapat membantu kita menyaring informasi yang kita konsumsi, menciptakan lensa baru untuk melihat konten, dan membuka ruang bagi kita untuk berinteraksi dengan mereka yang berbeda pandangan.
Saatnya bagi ahli teknologi untuk mengambil lebih banyak tanggung jawab dan bekerja sama dengan media, masyarakat sipil, filantropi, regulator, dan pendidik untuk melawan kekuatan yang menyebabkan perpecahan dan kesalahpahaman. Selain upaya positif untuk menghentikan ujaran kebencian dan menghentikan penyebaran informasi salah secara online, saatnya membangun platform dan algoritma yang memperluas solidaritas, empati, dan perdamaian, serta mengurangi perpecahan, ksenofobia, dan kekerasan.
Pluralisme di era digital harus dilihat tidak hanya sebagai fitur positif dari dunia virtual tetapi sebagai dasar yang sangat diperlukan untuk perdamaian dan kemajuan manusia. Mahatma Gandhi pernah berkata, “Kemampuan kita untuk mencapai kesatuan dalam keanekaragaman akan menjadi keindahan dan ujian peradaban kita.” Saat kita menciptakan kembali diri kita dan masyarakat kita di dunia pasca-covid, platform digital, set data yang beragam, pandangan yang kontras, dan etos pluralistik harus menjadi norma baru.
[…] era teknologi serba cepat, media digital telah menjadi bagian integral dari kehidupan kita sehari-hari. Kedua bentuk media dominan saat ini, […]
[…] nomenklatur ini, lebih dari sekedar masalah kata-kata, mencerminkan pengakuan atas keragaman ekspresi spiritual dan kultural dalam masyarakat kita. Masyarakat Kristen Indonesia, baik Protestan […]
[…] itu akan mengubah masyarakat dengan cara yang luar biasa. Pernyataan Humida menggambarkan bagaimana disrupsi media sosial memicu munculnya fenomena ‘new public sphere’ atau ruang publik baru yang mempengaruhi gaya […]
[…] digital, yang bertujuan untuk merebut kendali dari raksasa teknologi global dan memelihara ekosistem digitalnya. Yang menarik, bagaimanapun, adalah dukungan media yang hampir bulat terhadap larangan tersebut, […]
[…] menunjukkan bagaimana Maulid Nabi Muhammad, sebagai salah satu peristiwa penting dalam Islam, dipandang oleh masyarakat digital. Respon positif mendominasi, mencerminkan kedalaman cinta dan penghormatan terhadap Nabi. Namun, […]