Pada Selasa, 12 September 2023, Menteri Muhadjir Effendy, mengumumkan perubahan signifikan dalam nomenklatur hari libur Kristen di Indonesia. Kebijakan yang selama ini menyebut Yesus Kristus dengan nama “Isa Almasih” akan diubah menjadi “Yesus Kristus” mulai tahun 2024. Perubahan ini mungkin tampak sekilas sebagai masalah semantik, namun dalam konteks yang lebih luas, langkah ini memiliki implikasi mendalam bagi keragaman dan koeksistensi antaragama di Indonesia.
Sejarah dan Konteks
Indonesia, sebagai negara dengan populasi mayoritas Muslim, memiliki tradisi panjang dalam menggabungkan berbagai unsur kebudayaan dan keagamaan. Selama ini, istilah “Isa Almasih” telah digunakan dalam beberapa hari libur Kristen, seperti Wafatnya Isa Almasih (Good Friday) dan Kenaikan Isa Almasih (Ascension of Christ). Namun, bagi banyak umat Kristen di Indonesia, “Yesus Kristus” memiliki resonansi spiritual dan kultural yang lebih mendalam.
Kenaikan Yesus Kristus: Sebuah Tinjauan Teologis
Kenaikan Yesus merujuk pada peristiwa yang digambarkan dalam Perjanjian Baru di mana Yesus, setelah kebangkitan-Nya, secara fisik naik ke surga. Peristiwa ini dicatat oleh Lukas dalam Injilnya (Lukas 24:50-52) dan Kisah Para Rasul (Kisah Para Rasul 1:9-11). Kenaikan dipandang sebagai puncak dari pelayanan Yesus di bumi dan awal dari pelayanan para Rasul. Dalam konteks ini, Kenaikan memiliki arti penting dalam doktrin Kristen karena melambangkan transisi Yesus dari kehadiran-Nya di bumi ke posisi-Nya yang mulia di surga. Kenaikan digambarkan sebagai peristiwa yang dapat disaksikan oleh para rasul, di mana Yesus terangkat ke awan. Motif awan dalam kisah Lukas memiliki tujuan ganda, melambangkan kendaraan kenaikan dan menutupi mata para rasul. Konsep Kenaikan Yesus sesuai dengan literatur kanonik dan terintegrasi dalam tradisi Gereja.
Dampak Sosial dan Kultural
Perubahan nomenklatur ini, lebih dari sekedar masalah kata-kata, mencerminkan pengakuan atas keragaman ekspresi spiritual dan kultural dalam masyarakat kita. Masyarakat Kristen Indonesia, baik Protestan maupun Katolik, selama ini lebih familiar dengan istilah “Yesus Kristus” dalam doa dan ibadah mereka. Oleh karena itu, penggunaan istilah yang lebih akrab bagi komunitas Kristen ini dapat memperkuat identitas keagamaan mereka dan menghormati tradisi spiritual mereka.
Keputusan pemerintah ini menunjukkan bahwa mereka mendengarkan aspirasi masyarakat. Perubahan ini merupakan usulan dari komunitas Kristen Indonesia. Ini adalah contoh bagaimana pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat dalam membuat kebijakan yang inklusif dan menghormati keragaman.
Selain itu, keputusan ini mencerminkan bagaimana Indonesia, sebagai negara dengan keragaman etnis, budaya, dan agama, tetap berkomitmen pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dalam konteks hubungan Muslim-Kristen, yang kadang-kadang digambarkan sebagai hubungan yang rapuh, perubahan semacam ini menunjukkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk membangun jembatan pemahaman.
Perubahan istilah “Isa Almasih” menjadi “Yesus Kristus” bukan hanya mengenai perubahan kata, tetapi lebih kepada pengakuan dan penghormatan terhadap keanekaragaman budaya dan keagamaan di Indonesia. Langkah ini memperkuat komitmen Indonesia sebagai negara yang mendukung harmoni antaragama dan menegaskan posisi kita sebagai bangsa yang menghargai keragaman dan inklusivitas.
Add comment