Mengisi Ruang Maya
Islam Jawa

Islam Jawa, Jejak Spiritual di Padepokan Sathoriyah Ki Ageng Tunggul Wulung

Berbicara tentang budaya Indonesia, kita tak bisa melepaskan diri dari keunikan Islam Jawa. Salah satu manifestasi nyata dari perpaduan ini dapat kita temukan di Padepokan Sathoriyah Ki Ageng Tunggul Wulung, Ponorogo, Jawa Timur. Padepokan ini adalah simbol dari harmonisasi budaya dan agama yang telah lama berakar di tanah Jawa.

Berbicara mengenai budaya, tak terlepas dari kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Menurut data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Indonesia memiliki 1728 Warisan Budaya Takbenda yang terbagi dalam lima domain, menegaskan keanekaragaman budaya negeri ini.

Di antara kekayaan budaya tersebut, terdapat Padepokan Sathoriyah Ki Ageng Tunggul Wulung di Ponorogo, Jawa Timur, yang merupakan simbol pelestarian budaya Islam Jawa. Padepokan ini, yang dipimpin oleh seorang juru kunci yang dianggap sebagai mursyid dan dipanggil “Mbah Kadim”, telah berdiri sejak tahun 2020 dan menjadi representasi kuat dari kelestarian budaya lokal sebelum kedatangan Islam.

Ungkapan “Wong Jowo Ojo Ngasi Ilang Jowone” yang ditekankan oleh Mas Ngabehi Sasmito Wijoyo, pendiri padepokan ini, mengajak kita untuk menghargai dan menjaga keaslian budaya Jawa. Arsitektur padepokan ini menyerupai kadewatan Bali, menunjukkan penghormatan kepada budaya Hindu dan Buddha yang telah ada sebelum Islam dibawa oleh Wali Songo.

Whan Nurdiana, seorang pemuda dari Kecamatan Sambit, bersama Mbah Kadim, mengungkapkan bahwa sebelum memasuki padepokan, terdapat ritual khusus sebagai bentuk permohonan izin dan penghormatan kepada leluhur. Keunikan lainnya adalah adanya arca “LINGGOYANI” yang menjadi simbol penyatuan maskulin dan feminin, serta tiga gapura yang melambangkan Dewa Trimurti.

Islam jawa

Di dalam padepokan, terdapat dua petilasan yang penting: Petilasan Palenggahan Eyang Ajisoko dan Eyang Pangeran Purboyo. Mbah Kadim menggunakan Bahasa Palawa untuk menuliskan “MUHAMMAD RASULULLAH”, sebuah bahasa kuno yang mendahului Bahasa Arab, Latin, dan Jawa. Tempat ini juga memiliki ‘Sitinggil’, yang digunakan untuk meditasi dan berinteraksi dengan leluhur.

Baca Juga :   Budaya Lokal di Era Perubahan Sosial: Kenduri dalam Kehidupan Masyarakat

Padepokan ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga tempat di mana Islam dan budaya Jawa bertemu, menciptakan “Islam Pranatan Jawa”. Mbah Kadim menekankan bahwa Islam dan budaya Jawa bukanlah entitas yang berlawanan, melainkan dua aspek yang saling melengkapi.

Mbah kadim juga memberikan pesan kepada masyarakat, yang isinya sebagai berikut :

“kito dadi wong jowo ojo ngasi lali adat jowone, senajan panjenengan niku wes tibo budaya arab lan budaya liane, tetepe wong jowo bali menyang jowo meneh. Nek diarani jowo iku wes nggenah , lan islam iku dadi pranatane mongko lek wes genah mlaku neng pranatane , ora bakal keblinger, mulo ing dunyo sampek luweh-luweh ing mbesok pengrampungan ngarso gusti allah. Lan teng pundi mawon sedulur urip lan papan panggonanipun pokoke ojo lali karo pangeran  kang moho asih”

Mbah Kadim memberikan pesan penting bagi masyarakat: meski terpengaruh oleh budaya lain, penting untuk tetap menghargai dan menjaga identitas Jawa. Keberadaan padepokan ini menjadi simbol penting dari pelestarian budaya di tengah arus modernisasi.

Choirun Nisa

Choirun Nisa

Add comment

Follow us

Don't be shy, get in touch. We love meeting interesting people and making new friends.

Most popular

Most discussed