Mengisi Ruang Maya
nyekar

Gusik Pasarean dan Tradisi Nyekar Sebelum Ramadhan di Ponorogo, Bijaksana dalam Menyikapi Tradisi

Beberapa waktu lalu saya melihat video YouTube bertema “Gusik Pasarean”, salah satu tradisi Ponorogo untuk menyambut Ramadan ala masyarakat Ponorogo. Mendengar namanya, saya langsung penasaran dan menonton sampai detik terakhir video berdurasi 15:03 yang diunggah oleh akun YouTube @mas TRI AE ini.

nyekar

Video tersebut menampilkan puluhan warna yang membawa alat pembersih seperti arit, sapu, dan sejenisnya untuk membersihkan makam leluhur. Menurut keterangan salah satu warga dengan inisial Pak ER, “Gusik Pasarean” merupakan tradisi bersih-bersih makam leluhur yang merupakan bagian dari tradisi nyekar di masyarakat di Wilayah Ponorogo. Salah satu akun dengan inisial @misno borneo memberikan komentar menarik, ia memaknai tradisi ini bukan hanya sebagai tradisi semata, melainkan juga mengandung nilai gotong royong dan kerukunan.

“Guyup rukun tandang gawe. Tradisi ini dilaksanakan setiap hari sebelum Ramadan,” ujar akun @misno borneo. Di beberapa daerah lain di Jawa, umat Islam bahkan mengunjungi makam raja-raja kuno dan tokoh-tokoh yang dihormati selama nyekar. Di daerah pedesaan, orang Jawa juga memberikan persembahan makanan untuk Allah dan leluhur mereka saat mengunjungi makam kerabat dalam ritual yang disebut Nyekar.

Secara teoritis, Nyekar adalah tradisi sebelum bulan Ramadan di Jawa, Indonesia. Kata “nyekar” berarti “menebarkan kelopak bunga (di pemakaman)” dan berasal dari kata dasar “sekar” yang berarti “bunga”. Sebelum memulai puasa selama sebulan penuh, orang-orang mengunjungi makam leluhur mereka untuk memanjatkan doa dan menghiasinya dengan bunga-bunga berwarna-warni. Nyekar biasanya dilakukan seminggu sebelum bulan Ramadan dimulai.

Nilai kerukunan dan kebangsaan tercermin dalam tradisi ini melalui penekanan pada pemeliharaan hubungan yang harmonis dengan leluhur, anggota keluarga, dan masyarakat yang lebih luas. Kerukunan adalah nilai moral tradisional yang penting di Indonesia yang mempromosikan kerukunan antar umat beragama dan hubungan yang harmonis.

Apa arti penting Nyekar dalam budaya Jawa?

Nyekar adalah tradisi pra-Ramadhan dalam budaya Jawa yang melibatkan kunjungan ke makam kerabat dan leluhur yang telah meninggal. Kata “nyekar” berarti “menebarkan kelopak bunga (di atas tanah pemakaman)”. Selama nyekar, orang-orang berdoa untuk orang yang mereka cintai yang telah meninggal dan menaburkan kelopak bunga di makam mereka. Tradisi ini merupakan praktik penting dari sistem kepercayaan agama di Jawa, yang mencakup penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal dan leluhur.

Baca Juga :   Dakwah Ngepop ala Gus Iqdam: Dekengan Pusat Bersumber A1

Nyekar merupakan hal yang penting dalam budaya Jawa karena mencerminkan pentingnya hubungan antara manusia dan leluhur mereka. Selain itu, nyekar juga memperkuat rasa kebersamaan dalam masyarakat, sebab orang-orang berkumpul dan saling berbagi pengalaman dalam melaksanakan tradisi ini. Dalam budaya Jawa, pentingnya penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal dan leluhur juga tercermin dalam prinsip “urip iku urup” yang berarti hidup adalah semangat.

Nyekar juga memiliki nilai-nilai religius yang dalam ajaran Islam, di antaranya mengajarkan tentang kematian, kehidupan di akhirat, dan pentingnya doa untuk orang yang telah meninggal. Selain itu, nyekar juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengajarkan anak-anak tentang pentingnya menghormati dan mengenang jasa leluhur serta meningkatkan rasa kebersamaan dalam keluarga.

Dalam pandangan ulama, tradisi nyekar dapat diperbolehkan dalam Islam selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan dilakukan dengan niat baik. Dalam hal ini, tradisi nyekar dapat dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa religiusitas dan memperkuat hubungan dengan Allah SWT serta meningkatkan rasa saling menghormati dan saling mengasihi dalam masyarakat.

Bagaimana Nyekar dalam Islam Menurut Ulama?

Sehubungan dengan tradisi Nyekar ini, terdapat beberapa pandangan ulama. Salah satunya, Habib Muhammad Al Muthohar dalam akun YouTube NuOnline menyatakan sebagai berikut:

“Ada beberapa tradisi yang mungkin tidak dilakukan pada zaman Rasulullah, tetapi tidak selalu berarti bahwa tradisi tersebut dilarang dalam Islam. Dalam hadits, Nabi Muhammad mengajarkan kita untuk membawa kabar gembira dan tidak membuat orang lari dari Islam,” ujar Beliau.

“Selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan dilakukan dengan niat yang baik, maka tradisi tersebut bisa diperbolehkan. Sebagai contoh, Nabi Muhammad tidak menghapus semua tradisi jahiliyah, tetapi mengubahnya agar sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini juga dilakukan oleh para Walisongo ketika menyebarkan Islam di Indonesia,” lanjutnya.

“Intinya, selama tradisi tersebut baik dan sesuai dengan syariat Islam, maka kita bisa melestarikannya. Namun, jika tradisi tersebut belum sesuai, kita perlu menyesuaikannya agar tidak menyinggung perasaan orang. Dalam hal ini, Islam mengajarkan kita untuk bijaksana dalam menyikapi tradisi dan budaya,” pungkas Habib Muhammad Al Muthohar.

Selanjutnya, dalam akun YouTube @JIC Channel yang mendokumentasikan ceramah Gus Baha. Dalam kaitan dengan Ziarah Kubur, Gus Baha memaparkan sebagai berikut:

“Semua ayat yang menjelaskan mengenai tidak bergunanya amal manusia merupakan ayat yang berkaitan dengan akhirat. Akhirat sendiri merupakan alam di mana dunia sudah tidak ada, alam setelah kiamat. Akan tetapi, kalau di dalam kubur, itu namanya adalah alam Barzakh, alam Barzakh itu bukan Akhirat,” ungkap Gus Baha.

“Jadi, amal terputus bagi orang mati itu dalam posisi mayit yang berada di alam akhirat, bukan berada di alam Barzakh,” lanjut Gus Baha.

Selanjutnya, dengan mengutip kitab I’anatu Ath-Tholibin yang dikarang oleh As-Sayyid Al-Bakri (w. 1310 H), nama panjangnya Abu Bakr ‘Utsman bin Muhammad Syatho Ad-Dimyathi Al-Bakri, Gus Baha menceritakan sebagai berikut:

“Iku ono wong Soleh ngipi, nek enek wong dunga podo rebutan, rebutan doa umum (wa lil mukminina) misalnya, kecuali ada syekh seng sepuh tidak rebutan, lalu ditanya, kenapa wahai Syaikh kamu tidak berebut doa umum, kemudian ia menjawab, aku itu sudah berlebih dikirimi doa anak saya, anak e njenengan sinten? Kemudian syaikh menjawab, anak saya adalah tukang sayur di pasar, anak Saya setiap malam Jum’at membaca Yasin, jadi tidak perlu berebut paket doa umum,” cerita Gus Baha.

“Bukti bahwa cerita ini valid adalah ketika orang yang bermimpi tadi membuktikannya dengan datang ke pasar dan mencari anak yang dimaksud. Kemudian bertanya terkait amalan yang dilakukan, dan ternyata benar bahwa setiap malam Jumat sang anak selalu membaca Yasin,” lanjut Gus Baha.

Dalam hal ini, Habib Muhammad Al Muthohar menyatakan bahwa selama tradisi tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan dilakukan dengan niat baik, maka diperbolehkan. Beliau menegaskan pentingnya bijaksana dalam menyikapi tradisi dan budaya agar sesuai dengan syariat Islam.

Baca Juga :   Soal PPPK Guru 2023 Plus Kunci Jawabannya

Sementara itu, Gus Baha menjelaskan bahwa ayat yang menyatakan amal tidak berguna bagi orang mati berkaitan dengan akhirat, bukan alam Barzakh. Dalam cerita yang dikutip dari kitab I’anatu Ath-Tholibin, diceritakan seorang yang bermimpi tentang anak tukang sayur yang selalu membaca Yasin setiap malam Jumat. Ini menunjukkan bahwa doa dan amalan yang dilakukan dengan niat baik memiliki dampak positif bagi orang yang telah meninggal. Oleh karena itu, tradisi Nyekar dalam Islam dapat diperbolehkan asalkan dilakukan dengan niat baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Avatar photo

Redaksi El Kariem

Tim redaksi elkariem-mengisi ruang maya. "Saya adalah saya dan etnis, ras, atau agama saya adalah identitas saya. Anda adalah Anda dan etnis, ras, atau agama Anda adalah identitas Anda. Kita adalah satu umat manusia yang bersatu di satu planet, dan kemanusiaan kita yang bersama adalah identitas kita."

Add comment

Follow us

Don't be shy, get in touch. We love meeting interesting people and making new friends.

Most popular

Most discussed